20.54
Adalah A. Muhaimin, lahir di Lasem Kab. Rembang Jawa Tengah pada 1890 M
dari ayah Kiai Abdul Aziz dan ibu Mukminah binti Mahali. Ia adalah
menantu Kiai Chasbullah, ayah KH Wahab Chasbullah. Setelah isteri
pertamanya wafat, ia diambil menantu oleh Hadratusysyaikh Hasyim Asy’ari
Tebuireng, dinikahkan dengan putrinya, Nyai Khoiriyyah Hasyim.
Kiai Muhaimin memulai pendidikan dini agama dengan ayahnya, Kiai Abdul
Aziz. Kemudian masa remaja belajar ke Kiai Umar Pondok Pesantren Sarang
bersama kedua adiknya antara lain Suyuthi. Ia kemudian Kiai Muhaimin
melanjutkan belajar ke Kiai Chasbullah Tambakberas Jombang sambil
mengajar. Akhirnya ia diambil menantu oleh Kiai Chasbullah, dan
kehadirannya pun mewarnai proses belajar mengajar di pesantren tersebut,
menjadi sangat ramai dibanjiri santri, memberi berkah tersendiri.
Berita ramainya Pondok Pesantren Tambakberas membuat Kiai Hasyim
Asy’ari terkesan, kemudian meniru mengambil menantu dari pantai utara
untuk putrinya Khairiyyah dinikahkan dengan Kiai Maksum bin Ali,
keluarga Pesantren Maskumambang, Desa Dukun Kab. Gresik, yang kemudian
lebih dikenal dengan nama Kiai Maksum Ali, Kwaron, pengarang Kitab
Shorof Al-Amtsilatut Tashrifiyyah yang menjadi buku pegangan wajib di
sebagian besar pondok pesantren, diterbitkan pertama kali di Timur
Tengah. Kiai Maksum adalah kakak kandung Kiai Adlan Ali Cukir Jombang di
tahun 80-an Rois ‘Am Jam’iyyah Ahlith Thoriqah Al-Mu’tabaroh
An-Nahdliyyah.
Tahun 1923 istri Kiai Muhaimin, kakak kandung
dari KH Wahab Chasbullah wafat, tidak dikaruniai keturunan. Kemudian
Kiai Muhaimin langsung mukim di Makkah. Pertama kali menginjakkan Makkah
sudah dikenal alim. Sempat belajar memperdalam lagi kepada adik Kiai
Ahmad Dahlan Yogyakarta. Di saat bersamaan Kiai Maksum suami Nyai
Khairiyyah wafat. Dikarunia keturunan antara lain Nyai Abidah suami Kiai
Mahfud Ahli Falakiyah berputra antara lain H.Hakim, lainnya Nyai
Jamilah berputra antara lain Dr. Umar Faruq.
Menikah dengan Nyai Khairiyah
Hubungan ta’aruf Kiai Muhaimin-Nyai Khairiyyah dimulai dari kegiatan
surat menyurat. Saat itu usia Nyai Khairiyyah 17 tahun setelah ditinggal
wafat Kiai Ma’shum Kwaron suami pertama. Kiai Muhaimin dari Makkah
berkirim surat isinya menanyakan kesediaan Nyai Khairiyyah menjadi
istrinya. Saking bingungnya tidak terasa membaca surat itu sambil
berjalan dari Tebuireng sampai Kantor Kecamatan Diwek. Kemudian dijawab
Nyai Khairiyyah, menanyakan keberadaan istri pertama Kiai Muhaimin.
Langsung dijawab dengan mengirim surat keterangan kematian istrinya.
Tidak beberapa lama Kiai Muhaimin mengutus Kiai Bishri Syansuri
menyatakan keinginannya kepada KH Hasyim Asy’ari. Lalu memanggil Nyai
Khairiyyah, menjadi heran kok sudah saling kenal. Kemudian Kiai Bishri
sambil tersenyum-senyum menerangkan bahwa keduanya sebelumnya sudah
surat-suratan.
Kiai Hasyim Asy’ari kemudian bersikukuh agar
anaknya menikah dengan Kiai Muhaimin. Untuk maksud itu Oktober 1928 Kiai
Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai Bishri Syansuri ke
Sarang, Kab.Rembang. Selanjutnya pihak keluarga mengutus Kiai Ahmad bin
Syueb Sarang (seusia Kiai Muhaimin) agar mengikuti musyawarah dan
memutuskan syarat Nyai Khairiyyah untuk menikah dengan Kiai Muhaimin
harus dibawa ke Makkah. Aqdun Nikah dilaksanakan di Pondok Pesantren
Al-Wahdah Lasem yang diasuh Kiai Baidlowi bertindak mewakili keluarga,
karena Kiai Abdul Aziz sudah wafat. Kiai Bishri Syansuri mewakili Kiai
Muhaimin. Akhirnya resmilah Nyai Khairiyyah menjadi istri Kiai Muhaimin
diantar ke Mekkah oleh adiknya, Kiai Abdul Karim Hasyim. Adapun
putrinya, Abidah 13 tahun dan Jamilah 8 tahun tidak ikut ke Makkah,
namun Ikut kakeknya, KH Hasyim Asy’ari di bawah asuhan beliau di
Tebuireng.
Dalam kehidupan rumah tangga, Kiai Muhaimin
memberikan Nyai Khairiyyah keleluasaan uang belanja kebutuhan
sehari-hari, karena memahami harga sembako sewaktu-waktu bisa berubah.
Hal ini sangat melegakan hatinya, seperti pernah diceritakan kepada
ponakannya, Pak Muhsin. Bahkan Kiai Muhaimin menyediakan uang dalam
lemari. Apabila kurang, ia mempersilahkan istrinya mengambil uang di
lemari satunya lagi.
Selamatkan Kitab Madzhab Syafi’i
Kiai
Muhaimin tercatat salah seorang pengajar di Masjidil Haram. Menunjukkan
otoritas keilmuannya diakui. Dia antara muridnya, Kiai Umar Blora,
Makkah.
Di Makkah Kiai Muhaimin pernah memimpin Darul Ulum,
pusat dakwah dan pendidikan (madrasah atau jam’iah) berhaluan Ahlus
Sunnah Wal Jamaah sebagai Rois Jam’iyyah. Termasuk pengajar atau guru
besarnya antara lain Sayid Ali Al-Maliki Mufti Makkah. Pada mulanya
Madrasah Darul Ulum didirikan oleh Sayid Muchsin Musana Palembang pada
tahun 1927. Sepeninggal Kiai Muhaimin, Mudir Darul Ulum dipimpin oleh
Syaikh Yasin Al-Padani, seorang ulama besar Makkah yang terutama sejak
tahun 80’an sampai akhir hidupnya amat terkenal dan disegani menjadi
rujukan hukum dan sumber restu ulama NU di Indonesia. Untuk membedakan 2
nama Yasin, Kiai Muhaimin memberi nama 1. Syaikh Yasin (Al Padani), 2.
Ustadz Yasin (Palembang). Dalam riwayat yang masyhur, memang guru Syaikh
Yasin Al Padani antara lain :1. Kiai Ma’shoem Lasem, 2. Kiai Baidlowi
Lasem.
Di antara murid di Madrasah Darul Ulum Makkah masa
dipimpin Syaikh Yasin adalah Syaikh Mur’i, kini Mudir Universitas Darul
Ulum, Hudaidah, Yaman. Yang banyak memberi beasiswa mahasiswa asal
Indonesia.
Lulusan Darul Ulum Makkah yang diasuh Kiai Muhaimin
banyak yang menjadi ulama besar. Tersebar di Makkah, Indonesia dan Yaman
yang memerlukan keuletan melacaknya, karena mereka berdomisili di
berbagai Negara. Termasuk Kiai Basyuni ayah mantan Menteri Agama RI dan
Kiai Dahlan Makkah asal Kediri. KH.Maimun Zubair Pengasuh Pesantren Al
Anwar Sarang mengaku alumni Darul Ulum waktu belajar di Makkah, masuk
tahun 1950, disampaikan saat ceramah walimah pernikahan di rumah
KH.A.Rozzaq Imam Bonang Lasem besanan dengan Kiai Siraj Makkah. Menjadi
menantu Kiai Baidlowi dari Nyai Fahimah putrinya, dikaruniai anak antara
lain Gus Ubab dan Gus Najih. Ayahnya, Kiai Zubair lahir tahun 1885.
Leluhurnya Buju’ Su’ud Desa Klampis Arosbaya Bangkalan Madura. Bukan
yang Bindere Su’ud di Sumenep.
Sayang dalam perjalanannya
kemudian Darul Ulum yang didirikan dengan susah payah penuh suka duka
oleh Kiai Muhaimin dan dilanjutkan oleh Syaikh Yasin Al-Padani,
kelahiran tahun 1335 Hijriah, setelah kepemimpinan mereka mungkin karena
pengelolaannya kurang terurus, menjadi tidak berkembang dan maju,
sehingga diambil alih oleh Pemerintah Saudi Arabia dari Dinasti
Su’udiyyah yang beraliran Wahabi, termasuk mengambil alih
perpustakaannya yang memiliki banyak koleksi kitab-kitab penting. Darul
Ulum pun turun drastis kompetensi keilmuannya, mengikuti persamaan
tingkat dasar. Berubah menjadi sekolah umum (kurikulum nasional), mulai
dari tingkat MTs sampai jenjang berikutnya. Seperti halnya
Ash-Sholatiyyah meski tetap dipegang swasta. Begitu juga Al-Falah, namun
dikelola masyarakat Arab di Makkah.
Menurut Syaikh Shodiq bin
Muhammad bin Hasan Asy’ari ahli sejarah murid Syaikh Yasin Al-Padani
seperti juga Kiai Hasan Iraqi Sampang saat hidup Kiai Muhaimin masih
berusia 9 tahunan, Kiai Muhaimin salah satu ulama besar Makkah asal Jawa
terkenal alim. Menurut Kiai Maimun Zuber, sebagai contoh barometer
kefaqihan Kiai Muhaimin adalah kemampuannya mendirikan dan memimpin
Raudlatul Munadzirin, suatu lembaga bahtsul masail satu-satunya yang
paling prestisius di kalangan ulama Makkah, pesertanya terutama diikuti
semua ulama asal Asia Tenggara seperti Indonesia, Campa, Patani,
Mindanao dan Malaya. Diantara anggotanya, Kiai Zubair, ayah KH.Maemun
Zubair. Keputusan bahtsul masail Raudlatul Munadzirin memiliki bobot
inlektualitas keagamaan yang tidak diragukan.
Kumpulan
keputusan bahtsul masail Raudlatul Munadzirin yang telah ditashih oleh
Kiai Muhaimin selaku Pimpinan Darul Ulum menjadi ensiklopedi hukum ijma’
yang tidak ternilai. Seperti yang pernah disampaikan oleh seorang
narasumber dalam sebuah halaqah yang diselenggarakan di Pondok Pesantren
Raudlatuth Tholibin, Leteh, Rembang, pimpinan KH Musthofa Bishri atau
Gus Mus.
Namun sangat disayangkan, koleksi kitab karya Kiai
Muhaimin selama hidupnya memimpin Darul Ulum termasuk Raudlatul
Munadzirin, hingga sekarang belum ditemukan. Di Makkah, Kiai Muhaimin
pernah menulis risalah tentang bedug dan kentongan menurutnya perlu
dipertahankan. Sayyid Ali Mufti Makkah saat itu awalnya sempat marah
membaca sekilas risalah tersebut, karena menganggapnya bid’ah. Risalah
tersebut berdasarkan sumber Al-Quran, Al-Hadits dan Kaidah Ushul Fiqh
yangh jelas. Kiai Muhaimin juga menguraikan latar belakang filsafat
Jawa, bahwa bedug ditabuh di masjid berbunyi deng..deng pertanda ruangan
masjid masih cukup untuk sholat berjamaah, kentongan dipukul di
musholla berbunyi tong..tong…memberi isyarat musholla masih kosong
menunggu jamaah datang.
Pendapatnya berbeda dengan KH.Hasyim
Asy’ari. Namun selama penulis 5 (lima) tahun sekolah di Pesantren
Tebuireng menyaksikan sendiri masjid lama Tebuireng menggunakan bedug.
KH.Hasyim Asy’ari adalah ulama yang sangat terkenal kealimannya.
Terutama ahli hadits. Peletak dasar aswaja di tubuh NU dengan mengarang
Kitab Qanun Asasi. Kealimannya salah satunya dapat dilihat dalam polemik
fiqh seringkali menyampaikan pendapatnya berimprovisasi dalam bentuk
syair atau perlambang dalam bahasa arab secara isti’jal atau spontan.
Sehingga konfliknya tidak diketahui/ difahami masyarakat awam. Sayang
Kitab Diwan Hasyim Asy’ari berupa kumpulan syi’irnya itu sampai sekarang
dicari belum ditemukan. Keindahan dan kemampuan mengungkapkan
pendapatnya jarang dimiliki ulama lainnya. Mengingatkan kita dengan
Diwan Asy-Syafi’I dan Diwan Ali, walaupun yang menulisnya bukan
Sayyidina Ali RA sendiri.
Kiai Muhaimin banyak menyelamatkan
kitab madzhab Imam Syafii. Di tengah gencarnya Pemerintah Saudi Arabia
menarik peredaran kitab yang dianggap menyimpang dari ajaran Wahabi
kemudian membakarnya. Di antara kitab Kiai Muhaimin tertera
tandatangannya menjad koleksi Perpustakaan Tebuireng. Menurut H Ishaq
bin Kiai Masykuri, ayahnya santri Kiai Muhaimin saat boyong dari Makkah
naik kapal laut membopong kitab sebagian koleksi Darul Ulum. Sampai di
rumahnya di Lasem ditumpuk, banyaknya sampai penuh di beberapa lemari
besar. Kondisi kitabnya bolong-bolong, sekarang kitabnya sudah tidak
ada. Dahulu yang telaten sempat meneliti adalah KH.A.Hamid Baidlowi.
Menurut Kiai Maimun Zuber, kitab-kitabnya dimakan lenget, kutu buku.
Jasa Kiai Muhaimin dalam sejarah yang tidak bisa dipungkiri adalah
perannya di Raudlatul Munadzirin Makkah menghasilkan kader ulama
unggulan yang menguasai referensi karya keagamaan klasik yang mampu
menjawab dan memformulasikan persoalan-persoalan ummat dalam proses
pengambilan hukum Islam. Telah mewarisi tradisi keilmuan bahtsul masail.
Kegiatan keilmuan menjadi hidup atau kondusif. Kegiatan diskusi ilmiah
tersebut juga terkenal di Indonesia, memberi sumber inspirasi. Gemanya
meluas, di lingkungan pondok pesantren dan NU. Sehingga menjamur,
berdiri bahtsul masail-bahtsul masail. Tsamrotur Raudlah, hasil2
Keputusan Raudhatul Munadzirin (Taman Cendikiawan) pernah diterbitkan
dan didapatkan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dan Majma’ Buhuts
Nahdhiyyah, Jateng.
Kitab Tsamrotur Raudlatusy Syahiyah memuat
kumpulan jawaban permasalahan penting fiqh Madzhab Syafi’I dari pelajar
Indonesia selama muqim di Makkatul Mukarromah antara lain Masykuri
Lasem, Jarir bin Ismail Karang Anyar, Wazir bin Umar Bojonegoro, Abdul
Jalil bin Abdul Hamid Juwana, Umar bin Abdurrahman Demak, Dahlan bin
Kholil Jombang, Alawi bin Abdullah Demak, Muslih Afindi bin Dahlan
Kudus, Abu Syuja’ bin Munawar Kediri, Mushtofa bin Nur Salim Rembang di
bawah naungan Raudlatul Munadzirin dengan ta’ayyid dan tasyji’ oleh
Asysyaikh Al Alim Al Allamah Al Ustadz Abdul Muhaimin bin Abdul Aziz
Lasem.
Ulama Makkah yang hidup masa itu antara lain Syaikh
Adnan, Syaikh Muhammad Bakir, Syaikh Mukhsin Almusawa, Syaikh Umar
Hamdan, Syaikh Ali Almaliki, dan Syaikh Mukhtar Ath-Thoriq.
Menurut KH Maemun Zubair, andaikan tidak ada Kiai Muhaimin NU tidak akan
sekuat itu, karena Makkah merupakan pusat Islam Dunia termasuk NU masa
itu. Pasca diterimanya (success story) usul Komite Hijaz oleh Pemerintah
baru Saudi Arabia agar memberikan kebebasan mengamalkan Madzaahibul
Arba’ah bagi muqimin Makkah, maka kiprah Kiai Muhaimin dan komunitas
Indonesia di Makkah membuktikan (secara life) ajaran Ahlussunnah wal
Jamaah berdasarkan Madzahibul Arba’ah yang diusung Komite Hijaz cikal
bakal NU begitu dinamis, aktif dan moderat.
Bahkan peranan
istrinya, Nyai Khairiyyah (Syekh Sodiq menyebutnya Syaikh Khairiyah)
ikut mengantar fase awal berdirinya Daulah Su’udiyyah dalam bentuk model
praktis serta visi misi emansipasi penddidikan wanita Arab. Dengan
mendirikan Madrasah Banat yang pertama di Makkah tahun 1942. Menurut
H.Aboebakar dalam bukunya, Nyai Khairiyyah selama 9 tahun mendirikan dan
mengajar di Madrasah Wanita termasyhur di Syamiyyah, Makkah. Kiai
Muhaimin membantu Nyai Khairiyyah Hasyim, istrinya, mendirikan Madrasah
Kuttabul Banat. Sejarah mencatat, madrasah khusus wanita yang pertama di
Makkah. Gerakan keduanya yang visioner terobosan besar bagi kemajuan
pendidikan. Telah memperjuangkan emansipasi wanita di bidang pendidikan.
Jiwa kepeloporan yang teramat langka dan tidak lazim pada zaman itu.
Kontribusi yang besar tersebut tentu menggembirakan pemerintah dan
warga Saudi Arabia atas jasa-jasanya itu. Semoga hubungan sejarah
tersebut dapat membantu mempererat hubungan Indonesia-Saudi Arabia.
Beberapa Madrasah Banat kemudian bermunculan di Makkah, antara lain
Jam’iyah Khoiriyah University khusus wanita didirikan oleh Hj.Aminah
Syaikh Yasin Al Padani. Bahkan juga di Makkah terdapat lembaga PKK
dengan nama Jam’iyyatul Khoiriyah yang menurut sumber informasi
dinisbatkan kepada Nyai Khairiyah, sekarang yang menangani puteri dari
Bin Abdul Aziz Malik Faishal keluarga Kerajaan Saudi Arabia yang dikenal
gigih memperjuangkan emansipasi wanita yang dirintis Nyai Khairiyah.
Peninggalan Kiai Muhaimin dan Nyai Khairiyyah berupa Madrasah Darul
Ulum termasuk di dalamnya terdapat qismul banat yang kemudian menjadi
Madrasah Kuttabul Banat sampai tahun 1955 kemudian beralih status
menjadi madrasah negeri atau dikelola oleh negara (Pemerintah Saudi
Arabia) hingga sekarang.
Kiai Muhaimin di samping alim,
mengkader generasi muda, di Makkah juga suka menolong orang lain.
Sebagai tokoh yang dituakan, banyak membantu biaya hidup santri asal
Indonesia yang sebagian besar serba berkekurangan, hidup pada masa
penjajahan. Antara lain yang banyak dibantu, Kiai Wahib Wahab Jombang,
Kiai Zaini bin Abdullah kakak kandung Kiai Hamid Pasuruan dan Kiai
Bishri Musthofa, setelah kembali ke Rembang berhasil menjadi ulama besar
dan produktif mengarang kitab.
Abdullah Hamid
Alumni Pondok Pesantren Tebuireng 1987, kini Kepala Perpustakaan dan Publikasi Masjid Jami’ Lasem.
0 komentar:
Posting Komentar